Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

50 Tahun Taman Ismail Marzuki: Jejak Sejarah Pangkalan Seniman

50 Tahun Taman Ismail Marzuki: Jejak Sejarah Pangkalan Seniman - Tirto.ID
Hi, bertemu kembali, pada kali ini akan membawa pembahasan mengenai awal mula ismail marzuki 50 Tahun Taman Ismail Marzuki: Jejak Sejarah Pangkalan Seniman - simak selengkapnya


Pemain gedung pertunjukan dari Tabusai Dance Theater mementaskan opera tari di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, Sabtu (10/11/2018). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

50 Tahun Taman Ismail Marzuki: Jejak Sejarah Pangkalan Seniman - Tirto.IDAli Sadikin menginginkan Jakarta tidak sekadar disibukkan urusan pembentukan fisik, industri, dan perdagangan. Ia mendirikan Taman Ismail Marzuki.
Suatu pagi, Ali Sadikin melegalkan tiga anak Adam tamu di rumahnya setelah ia berangkat kerja, yakni Ilen Surianegara, Ajip Rosidi, dan Ramadhan K.H. Mereka membawa gulungan daluang yang di dalamnya tertera bagan tentang cita-cita getah perca seniman yang dibuat pelukis Oesman Effendi. Kelak, pertemuan itu menjadi catatan distingtif pada sejarah perjalanan getah perca seniman ibu kota.
Seketika, Bang Ali, panggilan akrab Ali Sadikin, teragak getah perca seniman yang biasa jongkok di Pasar Senen dan menanyakan kehadiran mereka.
“Mereka telah tak berkumpul lagi,” balas Ajip.
Sebagai Gubernur Jakarta yang kotanya tengah membabarkan pembangunan, industri, perdagangan, dan pariwisata, Bang Ali jua menginginkan Jakarta sebagai fokus kebudayaan. Baginya, metropolitan yang sekadar sibuk dengan geliang-geliut perdagangan sekadar bakal membuatnya gersang.
50 Tahun Taman Ismail Marzuki: Jejak Sejarah Pangkalan Seniman - Tirto.ID
“Akan bera akibatnya kehidupan metropolitan ini jika rohani tak dikembangkan. Kesenian hendaklah hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kegiatan bagaikan segala apa yang diinginkan bagi Jakarta,” ucapnya pada Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
Ia lalu mengajak getah perca seniman untuk berkumpul membicarakan keadaan itu kian lanjut. Lalu kesepakatan juga lahir: sebentuk fokus keelokan bakal dibangun di jantung ibukota.
Mula-mula sebentuk formatir ditentukan yang di antaranya terdiri dari Mochtar Lubis, Asrul Sani, Usmar Ismail, Gayus Siagian, Jayakusuma, Pirngadi, dan Zulharmans. Mereka bertugas menyusun kepengurusan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Selang beberapa waktu kemudian, DKJ terbina dan diketuai Trisno Sumardjo. Pada 7 Juni 1968, Bang Ali kekuatan DKJ yang terdiri dari 25 orang.
Semula, Gubernur Jakarta ini berpikir getah perca seniman tidak bakal bisa membereskan fokus keelokan yang bakal didirikan. Menurutnya, getah perca seniman adalah model manusia yang tidak bakal bakir membereskan yang lain, sebab membereskan dirinya sendiri juga mereka tidak pandai.
Namun, selepas diyakinkan Ajip Rosidi bahwa getah perca seniman itu layak diminta pertanggungjawaban selepas diberi agama dan dana, Bang Ali juga menyetujuinya.
Ia berkomitmen, dirinya sebagai gubernur tidak bakal campur lengan pada manajemen fokus kesenian. Pemerintah DKI sekadar menyediakan alat dan menyediakan dana. Baginya, seniman hendaklah dibiarkan merdeka mencipta. Diberikan independensi dan berkembang dengan sekalian khayal dan angan-angannya.
Selanjutnya ia menantang getah perca seniman untuk sungguh-sungguh bekerja mengampukan “tempat tinggal” mereka.
“Saudara-saudara seniman, aku melawan kini untuk bekerja pada organisasi. Kalau saudara-saudara tak beres, bakal aku kerahkan pemuda-pemuda mendemonstrasi saudara,” katanya.
DKJ yang dipimpin Trisno Sumardjo kemudian merampungkan Pedoman Dasar dan Program Kerja yang mereka susun sendiri. Hal ini semakin memastikan Bang Ali bahwa kelihatan seniman juga bakir mengatur diri.

“Marilah Kita Mulai”

Bang Ali memilah persil bekas bustan binatang di Jalan Cikini Raya sebagai area Pusat Kesenian Jakarta yang luasnya kurang kian 8 hektar. Kompleks ini kemudian dinamakan Taman Ismail Marzuki (TIM), sebagai penghargaan kepada seorang komponis akar Jakarta yang lagu-lagunya mewarnai derap berita perjuangan bangsa, biar kemudian sejumlah kontroversi membarengi karya-karyanya.
Mula-mula, akibat keterbatasan dana, TIM dibangun secara semi-permanen. Pembangunan tahap dahulu ini menghabiskan biaya sekitar Rp90 juta. Bang Ali memerintahkan agar pohon-pohon yang sedang tumbuh di senun dipelihara dan ditambah dengan penanaman pohon-pohon baru. Ia mengharapkan TIM terlihat hijau, teduh, dan enak dipandang biar bangunannya sedang sederhana. Baginya, fokus keelokan ini layak bangat diaktifkan agar kegersangan rohani bangat berakhir.
“Marilah kita mulai dengan yang memadai saja dulu. Supaya keelokan itu bisa bangat hidup di Jakarta,” ujarnya.
Maka pada 10 November 1968, Bang Ali meresmikan TIM. Acara keelokan digelar selagi sapta hari. Ada drama, gending karesmen Sunda, ekshibisi dokumentasi kesusastraan Indonesia, ekshibisi lukisan anak-anak, konser dengan solis Iravati Sudiarso dan Rudy Laban bagi Orkes Simfoni Jakarta di kaki (gunung) pimpinan Adidharma, tari balet, pantomim dari Jerman, diskusi pertanyaan bahasa Indonesia, lenong “Nyai Dasima”, gaya tari Tapanuli, dan lain-lain.
“Saya senang. Ini adalah permulaan yang menunjukkan harapan. Kesenian hendaklah hidup di Jakarta. Kebudayaan hendaklah dipikirkan dan ramai diperdebatkan. Mesti hidup!” ucapnya.

Dinamika Pengelolaan

Setelah TIM diresmikan, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai mesin keelokan TIM meminta kepada Bang Ali untuk mendapatkan anak Adam yang bakal mengampukan berjalinan fokus keelokan tersebut. Kemudian dipilihlah Suri Handono, cacat seorang direksi PT Pembangunan Jaya yang berkeinginan mengakomodasi dunia keelokan dan kebudayaan.
Meski manajer TIM dipegang bagi seorang yang bukan seniman, setiap agenda yang bakal dipertunjukkan dan dipamerkan di senun ditetapkan bagi DKJ. Manajer TIM sekadar pejabat agenda yang ditetapkan DKJ dan mengampukan pendapatan serta pengeluaran.
“Mengatur supaya di tempat itu bersih, supaya gedung-gedung terpelihara, supaya lampu-lampu menyala, supaya karyawan cermat dan bekerja baik,” imbuh Ali Sadikin melukiskan beban asing yang dipegang Suri Handono.
Dalam perjalanannya, akibat DKJ dibatasi era kepengurusan dan pengurus DKJ dahulu dipilih bagi formatir sementara, bahwa kemudian dibentuklah Akademi Jakarta yang cacat satu tugasnya memilah dan menetapkan getah perca ahli DKJ. Anggota Akademi Jakarta tak sekadar seniman yang berdomisili di Jakarta, tetapi jua dari Bandung dan Yogyakarta.
Selain itu, untuk menyiapkan seniman di era yang bakal datang, getah perca seniman jua memaksudkan didirikannya sebentuk lembaga didikan keelokan yang bakal menjadi pengganti penghubung mereka di masa-masa berikutnya. Gagasan ini melahirkan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta yang kini bernama Institut Kesenian Jakarta.
Selama puluhan tahun, TIM terus-menerus menggelar pelbagai pertunjukan dan ekshibisi kesenian. Tempat ini amat populer sebagai tempat mangkal getah perca seniman, ayu seniman betulan maupun mereka yang bagai seniman akibat kerap jongkok di senun minus menghasilkan karya segala apa pun. Pidato sebagai refleksi kebudayaan terus diproduksi pada setiap kembali warsa fokus keelokan ini.
Dinamika kerap terjadi berbatas kiwari, cacat satunya adalah Petisi Cikini 2015 yang diterbitkan sejumlah seniman. Para seniman itu menolak beleid aktual yang meminta Pemda DKI berkreasi Unit Pelaksana Teknis (UPT) sebagai pengelola TIM. Mereka membingungkan terancamnya independensi seniman jika birokrasi masuk ke fokus kesenian.
“Ali Sadikin lalu melepaskan agama terhadap seniman untuk membereskan diri sendiri. Penghormatan terhadap seniman ini yang penting. Kami otonom. Kami dianggap mitra gubernur. Sekarang agama itu dihilangkan,” ujar penyair Leon Agusta kepada Tempo.

Sementara Pemda DKI berargumen bahwa pihaknya dituntut Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan beleid yang tak melegitimasikan pemberian biaya hibah bagaikan kepada TIM secara terus-menerus. Ini mendorong Pemda DKI untuk berkreasi sebentuk UPT agar biaya biaya kepada TIM bertemu dengan beleid birokrasi.
Meski Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur Jakarta, waktu itu mengatakan bahwa TIM telah resmi dikelola UPT, beberapa bulan kemudian kekisruhan sedang berlanjut.
Sekarang, jika membesuk laman resmi TIM, manajemen fokus keelokan ini memang dipegang pemerintah.
Dalam rangkaian daftar kembali warsa TIM ke-50, Anies Baswedan berlaku seperti Gubernur DKI Jakarta menyatakan bahwa revitalisasi TIM yang tengah dilakukan saat ini bakal menghabiskan biaya sebanyak Rp1 triliun.
“Seluruh kegiatan seni kami fasilitasi. Karena kami gemar jebrol seniman-seniman aras dunia dari Jakarta. Usaha revitalisasi TIM itu bagian dari membawa Jakarta menjadi fokus kebudayaan di Asia,” ucapnya.
Di usianya yang ke-50, fokus keelokan ini tentu bakal terus menghadapi pelbagai tantangan. Dan bagaikan cita-cita Bang Ali, TIM bakal senantiasa dituntut untuk menjadi fokus kebudayaan yang hidup dengan elan yang menyala-nyala.


oke pembahasan mengenai 50 Tahun Taman Ismail Marzuki: Jejak Sejarah Pangkalan Seniman -  semoga info ini berfaedah salam
tulisan ini diposting pada tag , tanggal 15-08-2019,